Home » Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi dan Anti Diskriminasi

Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi dan Anti Diskriminasi

Bagian 2

by adminiaifa

Penulis: Wildan Habibi, M.Pd.I. (Dosen IAIFA Kediri)

Klik di sini untuka membaca bagian 1

Hal yang perlu untuk kita fahami bersama adalah Pertama, Pola atau Term pelaku penolakan kasus diatas. Adapun pola/term yang menjangkiti masyarakat dusun karet adalah pemahaman bahwa perbedaan agama merupakan pemicu permusuhan dalam segala hal yang terjadi di masyarakat. Pola ini tentunya harus dihilangkan dikalangan kita, karena hal ini merupakan kecemasan yang sangat tinggi yang mudah untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Pemahaman yang salah tentunya perlu adanya bimbingan – bimbingan secara massif baik dari kalangan agamawan maupun aparat pemerintahan.

Kedua, adalah Struktur Penyebab. Kebijakan yang berlaku di dusun karet merupakan kebijakan yang tidak berdasar serta bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia. Sesuatu yang tidak baik serta terorganisir dan terstruktur yang dimunculkan oleh kaum mayoritas tentunya akan menjadi haluan atau budaya masyarakat, mengingat kekuatan mayoritas dianggap sebagai “suara tuhan” yang harus diikuti dan ditaati. Disisi lain kebijakan ini mengarah kepada tindakan “main makim sendiri”,artinya kebijakan yang melibatkan orang banyak tentunya harus prosedural dan diketahui oleh otoritas diatasnya. Kebijakan lingkungan dusun harus melalui pertimbangan pemerintah desa, Kebijakan desa harus melalui pertimbangan pemerintah kecamatan dan lingkungan diatasnya tentunya harus melalui pertimbangan otoritas pemerintah yang lebih tinggi.

Ketiga, adalah Mental Model.. mental model yang yang mengakar adalah pemahaman tentang sesuatu yang berbeda atau tidak sesuai dengan adat/budaya yang berlaku dianggap sebagai suatu ancaman. Maindset seperti ini tentunya harus segera dirubah agar tidak menjadi “boomerang” bagi dirinya dan masyarakat sekitar. Pendekatan persuasive menjadi salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengikis pemikiran tersebut.

Alhasil, Ditinjau dari segi apapun sikap diskriminasi ini tentu tidak bisa dibenarkan. Terlebih lagi ditinjau dari kacamata Islam. Islam merupakan agama yang universal dan menjadi rahmat bagi seluruh manusia tanpa membedakan jenis kulit, suku, marga, golongan dan lain sebagainya. Bahkan Islam menegaskan antar laki-laki dan perempuan di hadapan Allah sama. Yang menentukan kemuliaan seseorang bukan jenis kelaminnya, suku, bangsa dan status sosialnya tetapi adalah takwanya yang tercermin dalam perilaku kesehariannya. Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT dalam. Q.S. Al Hujurat: 13 yang artinya:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat lain. Allah SWT telah mengingatkan tentang akibat yang akan diperoleh oleh seseorang yang berlaku diskriminasi dalam bentuk intoleransi dengan menghina kepada pemeluk agama yang lain. Hal ini termaktub dalam surat al an’am ayat 108 yang berbunyi.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”

Ayat ini memberikan isyarat pula kepada adanya larangan bagi kaum Muslimin bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan orang non muslim tambah menjauhi kebenaran. Mencaci-maki berhala sebenarnya adalah mencaci-maki benda mati. Oleh sebab itu memaki berhala itu adalah tidak dosa. Akan tetapi karena memaki berhala itu menyebabkan orang non muslim merasa tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan mencaci-maki Allah, maka terlaranglah perbuatan itu. Allah memberikan penjelasan bahwa Dia menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka sendiri. Hal ini berarti bahwa ukuran baik dan tidaknya sesuatu perbuatan atau kebiasaan, adakalanya timbul dari penilaian manusia sendiri, apakah itu merupakan perbuatan atau kebiasaan yang turun-temurun ataupun perbuatan serta kebiasaan yang baru saja timbul, seperti tersinggungnya perasaan orang non muslim apabila ada orang-orang yang memaki berhala-berhala mereka

Dalam kajian teori ilmu ushul fiqh, terdapat metode ijtihad yakni qiyas. Dalam kandungan ayat diatas sikap mencaci maki menjadi ashal/pokok (nash) yang kemudian jika kita temukan praktek diskriminasi/mengisolir (kasus slamet tidak boleh mukim di lingkungan mayortas islam) ini menjadi bentuk qiyas aulawi dimana furu’ lebih kuat dibandingkan dengan ashal. Hal ini sama dengan larangan membentak kepada orang tua yang kemudian muncul furu’ tentang bagaimana hukum memukul, atau melakukan sesuatu yang lebih menyakikitkan dibandingkan dengan membentak. Maka jika kembali pada kasus mengisolir,atau mendiskriminasikan orang non muslim tetntunya juga mempunyai kandungan hokum yang sama.
Adapun dalam tradisi pemikiran Islam untuk melanggengkan ajaran Allah dan rasul telah dirumuskan tiga pola hubungan umat yaitu, Pertama Ukhuwah Diniyah islamiyah, yaitu pola hubungan sesama umat Islam sebagai saudara sesama yang mengamalkan ajaran Islam, yang harus saling menguatkan, bahkan rasulullah pola hubungan ini digambarkan sebagai bangunan dan saling menguatkan satu unsur dengan unsur yang lainya, agar terwujud bangunan yang indah dan kokoh, sehingga bisa dinikmati oleh orang lainya, dan bahkan Rasulullah mengumpamakan kerjasama sesama ummat Islam itu seperti satu tubuh yang saling membantu dan menolong, contoh bila mata sakit, kaki berjalan, tangan membeli obat, mulut minum obat untuk mengobati mata. Kedua :  Ukhuwah Wathaniyah yaitu persaudaraan sesama anak bangsa yaitu bangsa Indonesia, apapun sukunya, agamanya, daerahnya, merupakan saudara, yang memiliki tanggungjawab untuk saling menghormati, bekerjasama, menjaga dan melindungi. Rasullah saw mengajarkan sekaligus mencontohkan dalam kehidupan yang nyata pada masanya yaitu masyarakat madinah yang adil dan sejahtera, masyarakatnya terdiri dari berbagai agama dan keyakinan, sekalipun Islam menjadi agama mayoritas tetapi tidak pernah memaksa dan mengintimidasi terhadap keyakinan lainya, karena keyakinan itu hak asasi yang harus dihargai. Ketiga ukhuwah Basariyah yaitu persaudaraan sesama umat manusia. Manusia adalah mahluk sosial yang pasti tidak bisa berdiri sendiri tanpa pertolongan orang lain, maka harus saling menghargai dan menghormati, bahkan bekerjasama semaksimal mungkin untuk kemaslahatan umat manusia, dari manapun asal bangsa dan negaranya kita bersaudara.
Dengan demikian tidak ada dasar yang bisa dijadikan sebagai landasan untuk ruang diskriminasi berkembang dimanapun dan kapanpun. sehingga toleransi mutlak harus ditumbuhkembangkan sebagai alat guna menjaga persatuan dan kesatuan dibumi pertiwi. Disamping penguatan aqidah juga menjadi bagian yang harus tetap terus dilaksanakan di kalangan umat islam, tentunya sikap moderat juga berbanding lurus untuk mendampingi penguatan aqidah tersebut.

#moderasi bukan berarti tanpa langkah dan dalil yang pasti#
# sikap menghormati bukan berarti ikut meyakini#
#sikap menghargai bukan berarti ikut mengakui#
#kuatkan aqidah,laksanakan moderasi#

You may also like